Minggu, 28 April 2013

Akuntansi Internasional



BAB 1
PENDAHULUAN


1.1. Akuntansi: Sebuah Bahasa Bisnis
      Dilihat dari perspektif pelaksana, akuntansi merupakan alat untuk menyampaikan informasi keuangan dari sebuah entitas usaha yang melakukan kegiatan bisnis. Dilihat dari perspektif pemakai, dengan akuntansi dapat diperoleh informasi keuangan yang dibutuhkan. Jadi, akuntansi disebut bahasa bisnis. Akuntansi juga menyerupai bahasa dalam hal bahwa sejumlah aturan akuntansi bersifat definitif sementara yang lain tidak.

1.2. Akuntansi Keuangan dan Akuntansi Manajemen
        Embrio akuntansi yang ada sekarang ini sudah ada sejak abad ke 13 di Italia yang kala itu merupakan kota perdagangan yang maju. Menurut Littleton, munculnya embrio tersebut disebabkan karena telah terpenuhinya persyaratan-persyaratan yang di perlukan. Persyaratan pertama yaitu “bahan” (yang merupakan sesuatu yang perlu dikerjakan ulang) dan bahasa (medium untuk mengekspresikan bahan tersebut).
     Terdapat 2 tipe akuntansi, yaitu akuntansi manajemen yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan informasi bagi manajemen dalam melaksanakan fungsi-fungsi perencanaan dan pengendalian serta pengambilan keputusan yang terkait dengan operasi perusahaan, dan akuntansi keuangan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan pemakai eksternal akan informasi keuangan yang terkait dengan perusahaan yang bersangkutan.
       Masing-masing tipe akuntansi tersebut mempunyai karakteristik yang berbeda. Salah satu perbedaan tersebut adalah bahwa akuntansi keuangan memerlukan regulasi atau standar, sementara akuntansi manajemen tidak memerlukan. Standar atau regulasi akuntansi diperlukan agar informasi yang dihasilkan tidak bias dan ambigu. Bias berarti bahwa terjadi ketidaksesuaian antara informasi dan substansinya. Sementara ambigu berarti bahwa informasi tersebut tidak mempunyai makna ganda sehingga dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan. Karakteristik ini terkait dengan aksesibilitas pemakai laporan keuangan terhadap penyusunan laporan keuangan tersebut.

1.3. Perkembangan Praktik Akuntansi
        Praktik akuntansi terus berubah, sesuai dengan kebutuhan, baik kebutuhan pelaksana akuntansi (sebagai penyedia informasi) maupun kebutuhan penerima atau pencari informasi tersebut. Pada awalnya, standar-standar akuntansi internasional yang dibuat IASC dinyatakan oleh pemakai bahwa masih bersifat terlalu luas, sehingga tidak memenuhi tingkat komparabilitas yang diharapkan. Ini merupakan kelemahan besar, karena tujuan didirikannya IASB adalah membuat serangkaian regulasi akuntansi yang menghasilkan akuntansi yang dapat berfungsi sebagai sebuat bahasa bisnis yang komunikatif secara internasional sehingga transaksi bisnis lintas batas dapat berjalan dengan baik, yang akan terlaksana kalau akuntansi yang didasarkan pada regulasi atau standar-standar tersebut mampun menghasilkan informasi keuangan yang komparabel. Oleh karena itu, pada tahun 1987 IASC merespon kritik ini dengan membentuk Comparability Project yang tujuannya adalah meningkatkan komparabilitas laporan keuangan dengan mengurangi alternatif-alternatif yang tersedia dalam standar-standar IASC.

1.4. Diversitas Akuntansi
        Akuntansi suatu yurisdiksi atau Negara berbeda dengan akuntansi yurisdiksi atau Negara yang lain, suatu dengan faktor-faktor penyebab yang terdapat pada masing-masing yurisdiksi. Berikut ini uraian mengenai diversitas akuntansi tersebut dilihat dari aspek pengukuran asset dan kewajiban dan aspek penentuan modal dan laba periodik.

1.4.1. Pengukuran Aset dan Kewajiban
        Aplikasi pengukuran biaya-biaya sekarang (current costs) mungkin akan segera menggantikan, atau paling tidak mendominasi, biaya-biaya historis (hystorical costs) dalam praktik-praktik akuntansi. Yang telah dapat dilihat pada awal abad ini adalah pada international financial reporting standards (IFRS) yang diterbitkan oleh IASB. IFRS, yang lebih banyak menggunakan fair value, telah menggusur pilihan terhadap PABU AS yang banyak menggunakan biaya-biaya historis. Istilah asset atau aktiva tidak memiliki arti yang pasti, dalam pengertian sumber daya mana yang harus dimasukkan dan sumber daya mana yang harus dikeluarkan dari batasan mengenai asset tersebut. Konsep-konsep kewajiban yang diaplikasi suatu Negara berbeda dengan yang diaplikasi Negara lain.

1.4.2. Penentuan Modal dan Laba Periodik
       Variasi komparasi yang paling besar dalam area ekuitas pemilik (owner’ eequity) berkenaan dengan pertanyaan apakah sumber daya atau kewajiban perusahaan tertentu boleh dihapus secara langsung dari labaa ditahan. Variasi penting yang lain adalah concept of periodicity dalam mengukur hasil operasi.
       Hubungan antara asset dan kewajiban dengan penentuan laba periodik tentu saja menimbulkan efek resiprokal. Biasanya overstatement atau understatement asset atau kewajiban dilaksanakan melalui inklusi atau eksklusi laporan laba-rugi yang bersangkutan. Namun, harus juga dicatat bahwa terdapat banyak variasi procedural yang lebih kecil. Misalnya, goodwill yang dibeli boleh diamortisasi di AS selama 40 tahun, sedangkan di Jerman maksimum 5 tahun.

1.5. Peran Akuntansi
      Peran akuntansi berbeda antara Negara. Perbedaan peran ini dapat mempengaruhi orientasi dan kandungan informasi laporan keuangan yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan di masing-masing Negara, yang selanjutnya akan mempengaruhi cara interpretasi dan penggunaan laporan keuangan tersebut. Akuntansi keuangan merupakan pusat dari proses alokasi sumber-sumber keuangan dipasar modal. Bukti menunjukkan bahwa laporan akuntansi adalah relevan dengan keputusan yang diambil oleh investor dalam pembelian atau penjualan saha,. Arti penting bagi para investor telah ditunjukkan oleh penelitian-penelitian terhadap para pemakai laporan keuangan di banyak Negara. Juga terdapat bukti secara anekdot bahwa setiap kali harga saham perusahaan akan turun jika reliabilitas (kehandalan) laporan keuangannya diragukan.

1.6. Korporasi Multinasional dan Keterlibatannya Dalam Bisnis Internasional
        Akuntansi internasional terutama diperlukan oleh pasar modal yang telah mengglobal dan perusahaan yang bisnisnya mengglobal. Perusahaan yang paling rendah tingkat globalisasi bisnisnya adalah perusahaan yang mempunyai transaksi utang-piutang dalam valuta asing (valas); sementara yang tingkat globalisasinya paling tinggi adalah korporasi multinasional (MNC, multinational corporation). MNC adalah perusahaan yang terlibat dalam produksi dan penjualan barang atau jasa pada lebih dari sebuah Negara.
       MNC membuat keputusan mengenai strategi untuk menembus pasar (market entry), operasi di luar negeri, dan produksi, pemasaran, serta pendanaan kegiatan-kegiatan dengan pertimbangan mana yang terbaik bagi korporasi secara keseluruhan. Manajemen MNC sangat membutuhkan informasi keuangan internasional dalam mengelola korporasinya. Ini berkaitan dengan penyajian informasi untuk para stakeholder di luar negeri dan juga berkenaan dengan interpretasi informasi keuangan yang diperoleh dari luar negeri, sementara masing-masing Negara mempunyai persyaratan penyajian informasi yang berbeda-beda sesuai dengan karakteristik masyarakat dan lingkungan masing-masing.

1.7. Pengertian Akuntansi Internasional
         Ada 2 tipe akuntansi yaitu akuntansi keuangan dan akuntansi manajemen. Tujuan akuntansi manajemen adalah untuk menyediakan informasi yang dibutuhkan manajemen, yang merupakan pihak internal perusahaan, di dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan perusahaan. Akuntansi keuangan bertujuan untuk memberikan informasi keuangan yang bermanfaat bagi pihak eksternal dalam pengambilan keputusan ekonomi. Akuntansi internasional mencakup akuntansi keuangan dan akuntansi manajemen. Ini berarti bahwa akuntansi internasional bukan merupakan tipe akuntansi tersendiri.
       Akuntansi internasional mencakup akuntansi keuangan dan akuntansi manajemen dalam perspektif internasional. Serupa dengan ini adalah pengertian akuntansi sector public, yang juga mencakup akuntansi keuangan dan akuntansi manajemen dan diterapkan untuk institusi-institusi layanan public.

1.8. Lingkup Akuntansi Internasional dan Organisasi Buku Ini
       Mempelajari akuntansi adalah mempelajari tentang apa dan bagaimana mencatat dan melaporkan transaksi-transaksi keuangan serta bagaimana menginterprestasi dan menganalisis laporan keuangan. Akuntansi internasional adalah akuntansi yang mempunyai perspektif internasional.
      Dalam perspektif internasional, akuntansi berkenaan dengan diversitas akuntansi dan keragaman yurisdiksi. Diversitas akuntansi merupakan problem yang telah, sedang, dan akan terus diupayakan solusinya. Sedangkan keragaman yurisdiksi merupakan kenyataan yang harus diterima.


BAB 11
HARGA TRANSFER


      Penentuan harga transfer bertujuan untuk pemberian motivasi kepada manajer. Dalam lingkup internasional, dimana harga transfer melibatkan lebih dari satu yuris diksi, masalah harga transfer menjadi lebih jauhlebih kompleks.

11.1. Pendahuluan
      Kecendrungan perusahaan sekarang ini adalah desentralisasi. Salah satu tantangan utama dalam melaksanakan system desentralisasi adalah penyusunan metode akuntansi yang memuaskan untuk transfer barang,jasa dan teknologi dari suatu pusat pertanggung jawaban ke pusat pertanggungjawaban yang lain. Tujuan penentuan harga transfer dalam dimensi nasional adalah untuk mengukur kinerja pusat-pusat pertanggungjawaban yang terkait yang tujuan akhirnya adalah pemberian motivasi kepada manajemen. Salah satu perbedaan penting antara keduanya adalah bahwa meskipun operasi luar negri untuk tujuan pengendalian diperlakukan sebagai pusat biaya (cost center ) atau pusat pendapatan (revenues center)

11.2. Harga transfer dalam lingkup nasional
      Harga transfer adalah harga jual barang atau jasa yang dikirim dari suatu pusat pertanggung jawaban yang lain dalam sebuah perusahaan.
Secara lebih rinci, tujuan penentuan harga transfer adalah sebagai berikut :
1.     Mengevaluasi kinerja pusat pertanggung jawaban secara akurat,
2.      Menyelaraskan tujuan (goal congruence) antara pertanggungjawaban dengan perusahaan
3.      Menjaga otonomi divisi
Penentuan harga transfer yang tidak akurat menyebabkan ukuran kinerja yang tidak akurat dan ini menyebabkan pemberian insentif yang tidak akurat pula, sehingga manajer tidak termotivasi untuk mengupayakn tercapainya tujuan perusahaan yang telah ditetapkan


11.3. Harga Transfer dan Globalisasi
        Pertumbuhan arus barang dan jasa secara global serta meningkatnya merger dan akuisisi lintas Negara secara dramatis menyebabkan meningkatnya volume perdagangan intra perusahaan (yaitu transaksi-transaksi antara perusahaan-perusahaan yang berkaitan dan membentuk satu kesatuan ekonomis dalam satu Negara atau lebih). Penentuan harga transfer berkaitan dengan penentuan harga barang dan jasa yang berpindah tangan antar entitas-entitas yang terkait dalam perdagangan intraperusahaan.
      Perdagangan intra perusahaan dan penentuan harga transfer sangat berkaitan, maka pertumbuhan perdagangan intraperusahaan telah menyebabkan semakin besarnya focus terhadap penentuan harga transfer. Secara khusus, ini mencakup 1) pihak-pihak utama yang dipengaruhi penentuan harga transfer, 2) metode-metode penentuan harga transfer yang berbeda, 3) perkembangan mutakhir dalam kebijakan penentuan harga transfer secara global, 4) dan bukti-bukti penelitian tentang variable-variabel yang mempengaruhi pemilihan metode penentuan harga transfer internasional.

11.4. Harga Transfer Internasional
          Pada perusahaan yang beroperasi dalam satu yurisdiksi, harga transfer bersifat hipotetis. Konsekuensi ekonomi harga transfer ini adalah berkenaan dengan kompensasi yang diterima oleh manajer unit pengirim maupun manajer unit penerima. Harga transfer yang terlalu rendah merugikan manajer unit pengirim, sedangkan harga transfer yang terlalu tinggi akan merugikan manajer unit penerima.
         Tetapi, didalam perusahaan multinasional di mana unit pengirim dan unit penerima berbeda di yurisdiksi yang berbeda, harga transfer ini bukan bersifat hipotetis dan mempunyai konsekuensi ekonomi yang lebih luas, antara lain besarnya pajak. Hal ini disebabkan karena masing-masing unit merupakan suatu entitas hukum yang berdiri sendiri.

11.5. Faktor-faktor yang Harus dipertimbangkan Dalam Penentuan Harga Transfer Internasional
       Dalam operasi domestik, tujuan system harga transfer adalah seperti yang telah dipaparkan di muka, yaitu mengevaluasi kinerja, menyelaraskan tujuan, dan menjaga otonomi divisi. Tetapi, untuk operasi di luar negeri terdapat sejumlah faktor lain yang perlu diperhatikan. Faktor-faktor tersebut adalah : perpajakan, regulasi pemerintah, tarip, pengendalian valas, akumulasi dana, dan joint-ventures.
         Bea cukai impor sering ditentukan sebagai persentase tertentu atas nilai impor suatu produk. Semakin rendah harga produk, semakin kecil pula beacukainya. Terhadap harga transfer, pengaruh beacukai impor biasanya berlawanan dengan pengaruh pajak penghasilan. Bea cukai impor untuk barang-barang yang dikirimkan ke suatu Negara akan menjadi rendah jika harga transfernya rendah. Tetapi hal ini akan mengakibatkan laba yang tercatat di Negara tersebut menjadi tinggi, dank arena itu pajak penghasilan local atas laba tersebut juga menjadi tinggi. Jadi, di dalam menentukan harga transfer yang tepat, pengaruh faktor-faktor ini harus dikalkulasi. Karena biasanya besarnya pajak penghasilan melebihi besarnya beacukai impor, biasanya harga transfer internasional lebih dipengaruhi oleh pertimbangan pajak penghasilan daripada oleh pertimbangan beacukai impor.

11.6. Pihak-pihak Utama yang Dipengaruhi Pilihan Penentuan Harga Transfer
         Kebijakan penentuan harga transfer perusahaan multinasional mempunyai sejumlah tujuan. Ini meliputi tujuan untuk menghindari kuota dan restriksi valas, meminimumkan pajak, meminimumkan risiko kurs valuta, meningkatkan bagian laba dari joint ventures, menembus restriksi repatriasi laba, dan mengoptimalkan system pemberian hadiah dan evaluasi kinerja manajerial.
         Tujuan-tujuan kebijakan penentuan harga transfer di atas mengacu pada fakta bahwa pilihan penentuan harga transfer yang dilakukan perusahaan mempengaruhi sejumlah pihak baik di luar maupun di dalam perusahaan tersebut. Akibatnya, ada banyak lagi hal yang harus diperhatikan untuk menentukan kebijakan penentuan harga transfer di dalam arena global dan bukan sekedar minimisasi pajak.

11.6.1. Pihak Internal
        Karyawan dari berbagai divisi yang berbeda dari sebuah perusahaan dapat dipengaruhi oleh metode penentuan harga transfer yang dipilih. Dengan anggapan bahwa karyawan dievaluasi berdasarkan profitabilitas divisi, karyawan divisi pembeli akan lebih senang harga transfer intraperusahaan yang rendah, sementara karyawan divisi penjual lebih senang harga transfer yang tinggi. Divisi pajak korporat lebih senang harga transfer yang merefleksi transaksi yang objektif jika perusahaan diaudit oleh otoritas pajak. Manajemen senior tingkat korporat akan lebih memilih metode penentuan harga transfer yang memaksimumkan laba konsolidasian jika gaji dan kompensasi mereka (misalnya yang berupa opsi saham) didasarkan atas kinerja perusahaan keseluruhan.

116.2. Pihak Ekstrenal
       Badan-badan pemerintah domestik adalah meliputi instansi-instansi pemungutan pajak local dan nasional, bea cukai, badan legislative, dan lembaga-lembaga regulatori dan pelaksana. Lembaga-lembaga pemungut pajak domestik berkepentingan dengan pemungutan pajak yang “layak”.
        Manajemen harus mempertimbangkan kepentingan berbagai pihak di dalam menentukan harga transfer. Matriks kepentingan yang rumit merupakan tantangan bagi manajemen dalam menentukan strategi yang memaksimumkan profitabilitas korporat tanpa melanggar hak masing-masing kelompok konstituen atau melanggar aturan yurisdiksi di mana perusahaan beroperasi.

Sabtu, 12 Januari 2013

Contoh Perusahaan yang Melakukan Komitmen Etis


Fakta-fakta PT Ajinomoto Indonesia, adalah sebuah perusahaan yang memproduksi bumbu masak dengan trade mark Ajinomoto. Baru-baru ini PT Ajinomoto Indonesia dilanda musibah, yang berdampak terhadap dicabutnya SIUP untuk sementara, hal ini dikarenakan fatwa MUI yang menyatakan bumbu masak ajinomoto "haram" untuk dikonsumsi oleh umat muslim. Kasus ini berawal dari masa berlaku label halal Ajinomoto yang habis Desember 2000 lalu. Saat itulah MUI melakukan uji ulang kehalalan produk. Uji ulang tersebut dilakukan oleh lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetik (LPPOM) MUI berkerja sama dengan Institut Pertanian Bogor (IPB), yang menemukan fakta bahwa Ajinomoto menggunakan Procine (enzim dari pangkreas babi) untuk bahan katalisator (bahan perantara untuk memudahkan reaksi kimia) guna menghidrolisis protein kedelai menjadi bactosoytone. Nah, bactosoytone inilah yang digunakan sebagai nutrisi untuk mengembangbiakkan mikroba. Selanjutnya mikroba dipakai dalam proses fermentasi tetes tebu menjadi monosodium glutamat (MSG). Melalui proses pemurnian, didapatkanlah bentuk kristal dan itulah MSG (vetsin) yang siap dilempar ke pasar.
Kehalalan Ajinomoto dipersoalkan MUI pada akhir Desember 2000 setelah ditemukan bahwa pengembangan bakteri untuk proses fermentasi tetes tebu (malase) mengandung bactosoytone (nutrisi untuk pertumbuhan bakteri itu). Sedangkan bactosoytone merupakan hasil hidrolisa enzim kedelai dengan biokatalisator parcine yang berasal dari pangkreas babi. Ajinomoto diduga telah mengubah nutrisi itu pada produksi sejak bulan Juni 2000 dan sebelumnya mereka menggunakan polypeptone. Berdasarkan hal demikian akhirnya MUI mengeluarkan Fatwa yang menyebutkan bahwa Merek Ajinomoto Haram untuk di Konsumsi Umat Islam. MUI dalam suratnya Nomor U-558/MUI/XII/2000 tanggal 19 Desember 2000 menyatakan bahwa PT. Ajinomoto Indonesia teleh mengubah salah satu bahan Nutrisi dalam proses pengembangbiakan kultur bakteri yaitu dari Polypeptone menjadi Bactosoytone, sehingga produk bumbu masak itu diduga sudah tercampur dengan enzim yang berasal dari lemak babi. Dalam surat MUI yang ditandatangani ketuanya, Prof Dr Umar Shihab, dan Sekretaris Umum MUI Dr. Din Syamsudin, itu meminta agar bumbu masak Ajinomoto yang diproduksi dan diedarkan sebelum 23 November ditarik dari peredarannya. Disamping pernyataan demikian, hal lain yang dicantumkan dalam Fatwa MUI tersebut adalah "Kami MUI memberi peringatan keras kepada saudara (PT Ajinomoto Indonesia) atas pelanggaran prosedur tersebut. Hal ini ditekankan oleh MUI mengingat masyarakat Indonesia yang notabene 80% dari total penduduk (sekitar 210 juta jiwa) merupakan umat Islam yang mengharamkan mengkonsumsi babi.
Setelah mendengar fatwa MUI tersebut, Tjokorda (Department Manager PT Ajinomoto Indonesia), melalui media massa mengakui menggunakan Bactosoytone yang diekstrasi dari daging babi untuk menggantikan polypeptone yang biasa diekstrasi dari daging sapi, alasan penggunaan bactosoytone itu karena lebih ekonomis, namun penggunaan ekstrasi dari daging babi itu hanyalah sebagai medium dan sebenarnya tidak berhubungan dengan produk akhir, katanya. Dilain pihak, Dirjen POM (Pengawasan obat dan makanan), menyatakan: untuk sementara Depkes mencabut sertfikat halal dari MUI yang telah dimiliki PT Ajinomoto Indonesia. Dia juga menambahkan bahwa: sebenarnya pelaksanaan pencantuman label "Halal" diatur oleh Depkes melalui pembahasan bersama dengan Depag maupun MUI, Surat Keputusan Bersama (SKB) ini diimplementasikan dalam bentuk Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 82 Tahun 1996 sebagaimana telah diubah dengan KepMenkes Nomor 924 Tahun 1996, yang intinya pasalnya menyatakan : bahwa produsen/pengimpor yang pada produknya ingin dicantumkan label "Halal", wajib siap diperiksa tim petugas gabungan dari Depkes, Depag, dan MUI, ujarnya, akan tetapi kenapa MUI tanpa berkoordinasi dahulu dengan Dirjen POM sudah mengeluarkan fatwa haram. II. Permasalahan Hukum ? Pencantuman label "halal" pada produk bumbu masak Ajinomoto, yang merupakan titik sentral permasalahannya.
Menurut MUI (Majelis Ulama Indonesia) bahwa label halal tersebut tidak benar, karena pada bumbu masak Ajinomoto terdapat unsur lemak babi dalam proses pembuatannya, sehingga MUI mengeluarkan fatwa bahwa bumbu masak Ajinomoto tersebut "Haram" untuk dikonsumsi oleh umat Muslim. Bagaimanakah hal ini jika ditinjau dari kedua Undang-undang di atas? Dan dapatkah PT Ajinomoto Indonesia selaku produsen dikenakan sanksi, baik itu sanksi administratif maupun sanksi pidana? Disamping itu apakah MUI satu-satunya lembaga yang dapat mengeluarkan sertifikat "Halal" dari setiap produk makanan yang diproduksi di Indonesia? III. Ditinjau Dari Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia. A. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. PT Ajinomoto Indonesia, dalam memproduksi, memasarkan dan atau mengiklankan produknya, jika dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, seperti pasal-pasal: "Pasal 30 ayat" (1) Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia pangan yang dikemas untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di dalam dan atau di kemasan pangan. (2) Label, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat sekurang-kurangnya keterangan mengenai: a. nama produk; b. daftar bahan yang digunakan; c. berat bersih atau isi bersih; d. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia; e. keterangan tentang halal; dan f. tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa. (3) Selain keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah dapat menetapkan keterangan lain yang wajib atau dilarang untuk dicantumkan pada label pangan. Memperhatikan ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa: memang diwajibkan bagi setiap produk untuk mencantumkan kata "Halal" pada setiap produk makanannya, akan tetapi ketentuan ayat (2) huruf e, di atas tidak serta merta mewajibkan untuk mencantumkan kata halal, secara eksplisit hal tersebut bisa disampingkan jika dengan senyata-nyatanya produk makanan tersebut tidak halal, tentunya tidak perlu di buatkan label halal. Ketentuan halal dimaksud hanya diisyaratkan bagi umat muslim, bukan seluruh masyarakat Indonesia, yang diketahui memiliki beragam agama dan kepercayaan. Oleh karena itu, jika tidak dimaksudkan untuk dikonsumsi oleh umat muslim, kata halal tersebut tidak perlu dicantumkan. "Pasal 33 ayat (1)" (1) Setiap label dan atau iklan tentang pangan yang diperdagangkan harus memuat keterangan mengenai pangan dengan benar dan tidak menyesatkan. (2) Setiap orang dilarang memberikan keterangan atau pernyataan tentang pangan yang diperdagangkan melalui, dalam, dan atau dengan label atau iklan apabila keterangan atau pernyataan tersebut tidak benar dan atau menyesatkan. Lain lagi yang dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 33, yang mengisyaratkan bahwa: pencantuman kata-kata yang ada dalam prosuk makanan tersebut harus benar, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Jadi jika informasi yang ada dalam produk, jika tidak benar maka produsan wajib bertangung jawab atas segala akibat yang ditimbulkan oleh bahan makanan tersebut dikemudian hari. Kenapa demikian, jika suatu produk hanya memikirkan bagaimana produknya laris terjual tanpa memikirkan efek samping bagi konsumen, tentunya mereka dengan semena-mena dapat membuat label, dengan maksud mencari keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Hal inilah yang sebenarnya ditekankan dalam Pasal ini, yaitu pertanggungjawaban produsen mengenai informasi produknya. "Pasal 34 ayat (1)" (1) Setiap orang yang menyatakan dalam label atau iklan bahwa pangan yang diperdagangkan adalah sesuai dengan persyaratan agama atau kepercayaan tertentu bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan berdasarkan persyaratan agama atau kepercayaan tersebut. Sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 30 di atas, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Pasal 34 ayat (1) ini, karena dalam pasal ini informasi tentang produk makanan harus disesuai dengan agama. Hal sebenarnya mempertegas pernyataan halal tersebut, jika memang tidak halal dikonsumsi oleh umat muslim, kenapa harus dibilang halal, demikian juga dengan katentuan dalam agama lain. "Pasal 58 huruf h" barang siapa : h. memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia pangan yang dikemas untuk diperdagangkan tanpa mencantumkan label, sebagaimana dimaksud dalam pasal 30 atau pasal; i. memberikan keterangan atau pernyataan tidak benar dan atau menyesatkan mengenai pangan yang diperdagangkan melalui, dalam, dan atau dengan label dan atau iklan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2). Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp 360.000.000,- (tiga ratus enam puluh juta rupiah). Dalam pasal ini, dinyatakan dengan tegas jika para produsen melanggar ketentuan pasal-pasal sebelumnya akan dikenakan sanksi. Pasal sanksi berguna untuk memperkuat berlakunya ketentuan-ketentuan di atas, agar para produsen tidak berkilah jika memang benar mereka melanggar. Jika terbukti PT Ajinomoto telah melakukan tindakan-tindakan dalam Angka I, maka PT Ajinomoto Indonesia dapat dikenakan tuduhan telah melanggar ketentuan pasal-pasal di atas. B. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Perusahaan bumbu masak Ajinomoto (PT Ajinomoto Indonesia) dalam memproduksi bumbu masak tersebut, sebenarnya tidak menyalahi aturan' akan tetapi kesalahan disini terdapat dalam kemasan Ajinomoto tersebut yang dinyatakan dengan jelas kata-kata "halal", ini sebenarnya yang jadi masalah bukan produksi bumbu masaknya tapi pernyataan halalnya. Hal ini jika dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dapat dikatakan telah melanggar aturan dalam Undang-undang tersebut antara lain Pasal-Pasal: "Pasal 7 huruf b" Kewajiban pelaku usaha adalah: b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan. Pelanggaran disini, dapat dikategorikan bahwa, perusahaan Ajinomoto telah memberikan informasi yang tidak benar, yaitu memberikan informasi halal dalam label, sedangkan dalam kenyataannya tidak halal dikonsumsi oleh umat muslim, karena mengandung unsur babi. "Pasal 8 ayat (1) huruf h" (1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan atau memperdagangkan barang dan atau jasa yang: h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara "halal" sebagaimana pernyataan halal yang dicantumkan dalam label. Dalam pasal ini bukan berarti semua produk yang diproduksi wajib halal, akan tetapi jika dalam label dinyatakan halal, maka seyogyanya dalam kenyataan yang sebenarnya juga halal. Jadi pernyataan halal bukan hanya dalam label. "Pasal 9 ayat (1) huruf f" (1) Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan atau jasa secara tidak benar dan atau seolah-olah: f. barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi.
Informasi dalam pasal ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pasal-pasal sebelumnya, hanya disini dipertegas tentang pernyataan-pernyataan yang dicantumkan dalam label, harus sesuai dengan keadaan barang tersebut sesungguhnya, bukan menimbulkan cacat tersembunyi, sebagaimana yang terdapat dalam kasus ajinomoto, yang menyatakan hal tersebut halal, tetapi belakangan timbul kontrafersi, dari MUI yang menyatakan bahwa ajinomoto haram. Inilah sebenarnya yang dimaksud dengan cacat tersembunyi, bahwa cacat tersebut akan terkuak setelah diteliti keakuratan informasi dari barang tersebut.
"Pasal 62 ayat (1) (1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8, pasal 9, pasal 10, pasal 13 ayat (2), pasal 15, pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah). Sanksi terhadap pelanggaran ketentuan pasal-pasal di atas pada intinya hanya sanksi pidana dan sanksi denda, disamping sanksi denda ada juga tentang sanksi administratif, yang bagi para pemilik SIUP sangat, dikhawatirkan karena dapat menghancurkan perusahaan mereka itu sendiri. Sanksi administratif dimaksud adalah pencabutan SIUP bersangkutan. Jika diperhatikan Surat Keputusan Bersama (SKB) ini diimplementasikan dalam bentuk Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 82 Tahun 1996 sebagaimana telah diubah dengan KepMenkes Nomor 924 Tahun 1996, yang intinya pasalnya menyatakan : bahwa produsen/pengimpor yang pada produknya ingin dicantumkan label "Halal", wajib siap diperiksa tim petugas gabungan dari Depkes, Depak, dan MUI, ujarnya, Depkes melalui pembahasan bersama dengan Depag maupun MUI. Jadi sebenarnya dalam pengeluaran sertifikat "Halal" sebenarnya MUI juga berwenang akan wewenang tersebut aabaru sah dan berdasrkan hukum jika telah berkoordinasi dengan Dirjen POM terlebih dahulu dalam mengeluarkan sertifikat Halal. Dan bagaimana dengan sertifikat "Haram". IV. Kesimpulan A. Sebagaimana dinyatakan pada angka I di atas, bahwa pencantuman label halal, harus dikeluarkan dengan Surat Keputusan Bersama antara Departemen Kesehtan dengan MUI.
Sementara itu pernyataan "Haram" dikeluarkan oleh MUI, tanpa koordinasi dahulu dengan Depkes, hal ini menimbulkan reaksi kontra dari Depkes. Jika kita lihat isi dari ketentuan SKB diatas, memang MUI terlalu terburu-buru mengeluarkan fatwa, akan tetapi jika dilihat dari ketentuan tersebut, yang ditekankan adalah pernyataan label halal, dan bukan pernyataan label haram, jadi disini sebenarnya MUI tidak dapat disalahkan dengan fatwa yang dikelauarkannya walaupun tanpa koordinasi dengan Depkes. B. Dengan memperhatikan ketentuan sanksi dalam Undang-undang di atas, dapat disimpulkan bahwa: sanksi yang akan diberikan kepada PT ajinomot Indonesia bisa dikategorikan kedalam sanksi pidana (penjara atau denda) dan sanksi administratif. Berbicara mengenai sanksi administratif yaitu sanksi tentang pencabutan SIUP. Ada dua hal yang perlu diperhatikan tentang SIUP mengingat PT Ajinomoto adalah merupakan Perusahaan Asing (PMA) yaitu: 1. perusahaan tersebut minta usahanya dicabut. 2. pencabutan dilakukan lantaran perusahaan bersangkutan terbukti melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku. C. Jika diperhatikan penjelasan di atas, apakah PT Ajinomoto Indonesia telah melanggar peraturan perundang-undangan? Dalam ketentuan hukum pidana, kita menganut asas "praduga tak bersalah" (bahwa seseorang atau badan hukum walaupun dalam keadaan senyatanya sudah melakukan tindak pidana, namun dalam hukum tetap dianggap tidak bersalah sebelum ada keputusan hakim yang tetap menyatakan bahwa seseorang/badan hukum tersebut bersalah), harus dijunjung tinggi. Oleh karena itu penilaian bersalah atau tidaknya PT Ajinomoto tergantung pada keputusan lembaga yang berwenang, sementara lembaga lain hanya dapat memberikan teguran atau peringatan baik lisan maupun tulisan, atau sanksi administratif sementara. D. Sebaiknya pihak Pemerintah selaku lembaga yang paling berwenang dalam masalah ini, harus mengeluarkan suatu aturan yang jelas tentang, prosedur pemeriksaan dan wewenang pencantuman label halal ini. Agar tidak terjadi saling menyalahkan antara masing-masing lembaga yang merasa berwenang. Untuk itu pemerintah perlu mengeluarkan baru atau merevisi peraturan lama, tentang Sertifikasi Halal tersebut.

Sumber :
http://117.102.106.99:2121/pls/PORTAL30/indoreg.irp_casestudy.viewcasestudy?casestudy=2