Fakta-fakta
PT Ajinomoto Indonesia, adalah sebuah perusahaan yang memproduksi bumbu masak
dengan trade mark Ajinomoto. Baru-baru ini PT Ajinomoto Indonesia dilanda
musibah, yang berdampak terhadap dicabutnya SIUP untuk sementara, hal ini
dikarenakan fatwa MUI yang menyatakan bumbu masak ajinomoto "haram"
untuk dikonsumsi oleh umat muslim. Kasus ini berawal dari masa berlaku label
halal Ajinomoto yang habis Desember 2000 lalu. Saat itulah MUI melakukan uji
ulang kehalalan produk. Uji ulang tersebut dilakukan oleh lembaga Pengkajian
Pangan, Obat-obatan dan Kosmetik (LPPOM) MUI berkerja sama dengan Institut
Pertanian Bogor (IPB), yang menemukan fakta bahwa Ajinomoto menggunakan Procine
(enzim dari pangkreas babi) untuk bahan katalisator (bahan perantara untuk
memudahkan reaksi kimia) guna menghidrolisis protein kedelai menjadi
bactosoytone. Nah, bactosoytone inilah yang digunakan sebagai nutrisi untuk
mengembangbiakkan mikroba. Selanjutnya mikroba dipakai dalam proses fermentasi
tetes tebu menjadi monosodium glutamat (MSG). Melalui proses pemurnian,
didapatkanlah bentuk kristal dan itulah MSG (vetsin) yang siap dilempar ke
pasar.
Kehalalan
Ajinomoto dipersoalkan MUI pada akhir Desember 2000 setelah ditemukan bahwa
pengembangan bakteri untuk proses fermentasi tetes tebu (malase) mengandung
bactosoytone (nutrisi untuk pertumbuhan bakteri itu). Sedangkan bactosoytone
merupakan hasil hidrolisa enzim kedelai dengan biokatalisator parcine yang
berasal dari pangkreas babi. Ajinomoto diduga telah mengubah nutrisi itu pada
produksi sejak bulan Juni 2000 dan sebelumnya mereka menggunakan polypeptone.
Berdasarkan hal demikian akhirnya MUI mengeluarkan Fatwa yang menyebutkan bahwa
Merek Ajinomoto Haram untuk di Konsumsi Umat Islam. MUI dalam suratnya Nomor
U-558/MUI/XII/2000 tanggal 19 Desember 2000 menyatakan bahwa PT. Ajinomoto
Indonesia teleh mengubah salah satu bahan Nutrisi dalam proses pengembangbiakan
kultur bakteri yaitu dari Polypeptone menjadi Bactosoytone, sehingga produk
bumbu masak itu diduga sudah tercampur dengan enzim yang berasal dari lemak
babi. Dalam surat MUI yang ditandatangani ketuanya, Prof Dr Umar Shihab, dan Sekretaris
Umum MUI Dr. Din Syamsudin, itu meminta agar bumbu masak Ajinomoto yang
diproduksi dan diedarkan sebelum 23 November ditarik dari peredarannya.
Disamping pernyataan demikian, hal lain yang dicantumkan dalam Fatwa MUI
tersebut adalah "Kami MUI memberi peringatan keras kepada saudara (PT
Ajinomoto Indonesia) atas pelanggaran prosedur tersebut. Hal ini ditekankan
oleh MUI mengingat masyarakat Indonesia yang notabene 80% dari total penduduk
(sekitar 210 juta jiwa) merupakan umat Islam yang mengharamkan mengkonsumsi
babi.
Setelah
mendengar fatwa MUI tersebut, Tjokorda (Department Manager PT Ajinomoto
Indonesia), melalui media massa mengakui menggunakan Bactosoytone yang
diekstrasi dari daging babi untuk menggantikan polypeptone yang biasa
diekstrasi dari daging sapi, alasan penggunaan bactosoytone itu karena lebih
ekonomis, namun penggunaan ekstrasi dari daging babi itu hanyalah sebagai
medium dan sebenarnya tidak berhubungan dengan produk akhir, katanya. Dilain
pihak, Dirjen POM (Pengawasan obat dan makanan), menyatakan: untuk sementara
Depkes mencabut sertfikat halal dari MUI yang telah dimiliki PT Ajinomoto
Indonesia. Dia juga menambahkan bahwa: sebenarnya pelaksanaan pencantuman label
"Halal" diatur oleh Depkes melalui pembahasan bersama dengan Depag maupun
MUI, Surat Keputusan Bersama (SKB) ini diimplementasikan dalam bentuk Keputusan
Menteri Kesehatan Nomor 82 Tahun 1996 sebagaimana telah diubah dengan KepMenkes
Nomor 924 Tahun 1996, yang intinya pasalnya menyatakan : bahwa
produsen/pengimpor yang pada produknya ingin dicantumkan label
"Halal", wajib siap diperiksa tim petugas gabungan dari Depkes,
Depag, dan MUI, ujarnya, akan tetapi kenapa MUI tanpa berkoordinasi dahulu
dengan Dirjen POM sudah mengeluarkan fatwa haram. II. Permasalahan Hukum ?
Pencantuman label "halal" pada produk bumbu masak Ajinomoto, yang
merupakan titik sentral permasalahannya.
Menurut
MUI (Majelis Ulama Indonesia) bahwa label halal tersebut tidak benar, karena
pada bumbu masak Ajinomoto terdapat unsur lemak babi dalam proses pembuatannya,
sehingga MUI mengeluarkan fatwa bahwa bumbu masak Ajinomoto tersebut
"Haram" untuk dikonsumsi oleh umat Muslim. Bagaimanakah hal ini jika
ditinjau dari kedua Undang-undang di atas? Dan dapatkah PT Ajinomoto Indonesia
selaku produsen dikenakan sanksi, baik itu sanksi administratif maupun sanksi
pidana? Disamping itu apakah MUI satu-satunya lembaga yang dapat mengeluarkan
sertifikat "Halal" dari setiap produk makanan yang diproduksi di
Indonesia? III. Ditinjau Dari Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia. A.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. PT Ajinomoto Indonesia, dalam
memproduksi, memasarkan dan atau mengiklankan produknya, jika dikaitkan dengan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, seperti pasal-pasal:
"Pasal 30 ayat" (1) Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan ke
dalam wilayah Indonesia pangan yang dikemas untuk diperdagangkan wajib
mencantumkan label pada, di dalam dan atau di kemasan pangan. (2) Label,
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat sekurang-kurangnya keterangan
mengenai: a. nama produk; b. daftar bahan yang digunakan; c. berat bersih atau
isi bersih; d. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke
dalam wilayah Indonesia; e. keterangan tentang halal; dan f. tanggal, bulan dan
tahun kadaluarsa. (3) Selain keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Pemerintah dapat menetapkan keterangan lain yang wajib atau dilarang untuk
dicantumkan pada label pangan. Memperhatikan ketentuan di atas, dapat
disimpulkan bahwa: memang diwajibkan bagi setiap produk untuk mencantumkan kata
"Halal" pada setiap produk makanannya, akan tetapi ketentuan ayat (2)
huruf e, di atas tidak serta merta mewajibkan untuk mencantumkan kata halal,
secara eksplisit hal tersebut bisa disampingkan jika dengan senyata-nyatanya
produk makanan tersebut tidak halal, tentunya tidak perlu di buatkan label
halal. Ketentuan halal dimaksud hanya diisyaratkan bagi umat muslim, bukan
seluruh masyarakat Indonesia, yang diketahui memiliki beragam agama dan
kepercayaan. Oleh karena itu, jika tidak dimaksudkan untuk dikonsumsi oleh umat
muslim, kata halal tersebut tidak perlu dicantumkan. "Pasal 33 ayat
(1)" (1) Setiap label dan atau iklan tentang pangan yang diperdagangkan
harus memuat keterangan mengenai pangan dengan benar dan tidak menyesatkan. (2)
Setiap orang dilarang memberikan keterangan atau pernyataan tentang pangan yang
diperdagangkan melalui, dalam, dan atau dengan label atau iklan apabila
keterangan atau pernyataan tersebut tidak benar dan atau menyesatkan. Lain lagi
yang dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 33, yang mengisyaratkan bahwa:
pencantuman kata-kata yang ada dalam prosuk makanan tersebut harus benar, dan
dapat dipertanggungjawabkan.
Jadi
jika informasi yang ada dalam produk, jika tidak benar maka produsan wajib bertangung
jawab atas segala akibat yang ditimbulkan oleh bahan makanan tersebut
dikemudian hari. Kenapa demikian, jika suatu produk hanya memikirkan bagaimana
produknya laris terjual tanpa memikirkan efek samping bagi konsumen, tentunya
mereka dengan semena-mena dapat membuat label, dengan maksud mencari keuntungan
yang sebanyak-banyaknya. Hal inilah yang sebenarnya ditekankan dalam Pasal ini,
yaitu pertanggungjawaban produsen mengenai informasi produknya. "Pasal 34
ayat (1)" (1) Setiap orang yang menyatakan dalam label atau iklan bahwa
pangan yang diperdagangkan adalah sesuai dengan persyaratan agama atau
kepercayaan tertentu bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan berdasarkan
persyaratan agama atau kepercayaan tersebut. Sebagaimana yang terdapat dalam Pasal
30 di atas, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Pasal 34 ayat (1) ini, karena
dalam pasal ini informasi tentang produk makanan harus disesuai dengan agama.
Hal sebenarnya mempertegas pernyataan halal tersebut, jika memang tidak halal
dikonsumsi oleh umat muslim, kenapa harus dibilang halal, demikian juga dengan
katentuan dalam agama lain. "Pasal 58 huruf h" barang siapa : h.
memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia pangan yang dikemas
untuk diperdagangkan tanpa mencantumkan label, sebagaimana dimaksud dalam pasal
30 atau pasal; i. memberikan keterangan atau pernyataan tidak benar dan atau
menyesatkan mengenai pangan yang diperdagangkan melalui, dalam, dan atau dengan
label dan atau iklan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2). Dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak
Rp 360.000.000,- (tiga ratus enam puluh juta rupiah). Dalam pasal ini,
dinyatakan dengan tegas jika para produsen melanggar ketentuan pasal-pasal
sebelumnya akan dikenakan sanksi. Pasal sanksi berguna untuk memperkuat
berlakunya ketentuan-ketentuan di atas, agar para produsen tidak berkilah jika
memang benar mereka melanggar. Jika terbukti PT Ajinomoto telah melakukan
tindakan-tindakan dalam Angka I, maka PT Ajinomoto Indonesia dapat dikenakan
tuduhan telah melanggar ketentuan pasal-pasal di atas. B. Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Perusahaan
bumbu masak Ajinomoto (PT Ajinomoto Indonesia) dalam memproduksi bumbu masak
tersebut, sebenarnya tidak menyalahi aturan' akan tetapi kesalahan disini
terdapat dalam kemasan Ajinomoto tersebut yang dinyatakan dengan jelas
kata-kata "halal", ini sebenarnya yang jadi masalah bukan produksi
bumbu masaknya tapi pernyataan halalnya. Hal ini jika dikaitkan dengan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dapat dikatakan telah
melanggar aturan dalam Undang-undang tersebut antara lain Pasal-Pasal:
"Pasal 7 huruf b" Kewajiban pelaku usaha adalah: b. memberikan
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan
atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
Pelanggaran disini, dapat dikategorikan bahwa, perusahaan Ajinomoto telah
memberikan informasi yang tidak benar, yaitu memberikan informasi halal dalam
label, sedangkan dalam kenyataannya tidak halal dikonsumsi oleh umat muslim,
karena mengandung unsur babi. "Pasal 8 ayat (1) huruf h" (1) Pelaku
usaha dilarang memproduksi dan atau memperdagangkan barang dan atau jasa yang:
h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara "halal" sebagaimana
pernyataan halal yang dicantumkan dalam label. Dalam pasal ini bukan berarti
semua produk yang diproduksi wajib halal, akan tetapi jika dalam label
dinyatakan halal, maka seyogyanya dalam kenyataan yang sebenarnya juga halal.
Jadi pernyataan halal bukan hanya dalam label. "Pasal 9 ayat (1) huruf
f" (1) Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu
barang dan atau jasa secara tidak benar dan atau seolah-olah: f. barang tersebut
tidak mengandung cacat tersembunyi.
Informasi dalam pasal
ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pasal-pasal sebelumnya, hanya disini
dipertegas tentang pernyataan-pernyataan yang dicantumkan dalam label, harus
sesuai dengan keadaan barang tersebut sesungguhnya, bukan menimbulkan cacat
tersembunyi, sebagaimana yang terdapat dalam kasus ajinomoto, yang menyatakan
hal tersebut halal, tetapi belakangan timbul kontrafersi, dari MUI yang
menyatakan bahwa ajinomoto haram. Inilah sebenarnya yang dimaksud dengan cacat tersembunyi,
bahwa cacat tersebut akan terkuak setelah diteliti keakuratan informasi dari
barang tersebut.
"Pasal
62 ayat (1) (1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 8, pasal 9, pasal 10, pasal 13 ayat (2), pasal 15, pasal 17 ayat
(1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp
2.000.000.000,- (dua miliar rupiah). Sanksi terhadap pelanggaran ketentuan
pasal-pasal di atas pada intinya hanya sanksi pidana dan sanksi denda,
disamping sanksi denda ada juga tentang sanksi administratif, yang bagi para
pemilik SIUP sangat, dikhawatirkan karena dapat menghancurkan perusahaan mereka
itu sendiri. Sanksi administratif dimaksud adalah pencabutan SIUP bersangkutan.
Jika diperhatikan Surat Keputusan Bersama (SKB) ini diimplementasikan dalam
bentuk Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 82 Tahun 1996 sebagaimana telah diubah
dengan KepMenkes Nomor 924 Tahun 1996, yang intinya pasalnya menyatakan : bahwa
produsen/pengimpor yang pada produknya ingin dicantumkan label
"Halal", wajib siap diperiksa tim petugas gabungan dari Depkes,
Depak, dan MUI, ujarnya, Depkes melalui pembahasan bersama dengan Depag maupun
MUI. Jadi sebenarnya dalam pengeluaran sertifikat "Halal" sebenarnya
MUI juga berwenang akan wewenang tersebut aabaru sah dan berdasrkan hukum jika
telah berkoordinasi dengan Dirjen POM terlebih dahulu dalam mengeluarkan
sertifikat Halal. Dan bagaimana dengan sertifikat "Haram". IV. Kesimpulan
A. Sebagaimana dinyatakan pada angka I di atas, bahwa pencantuman label halal,
harus dikeluarkan dengan Surat Keputusan Bersama antara Departemen Kesehtan
dengan MUI.
Sementara
itu pernyataan "Haram" dikeluarkan oleh MUI, tanpa koordinasi dahulu
dengan Depkes, hal ini menimbulkan reaksi kontra dari Depkes. Jika kita lihat
isi dari ketentuan SKB diatas, memang MUI terlalu terburu-buru mengeluarkan
fatwa, akan tetapi jika dilihat dari ketentuan tersebut, yang ditekankan adalah
pernyataan label halal, dan bukan pernyataan label haram, jadi disini
sebenarnya MUI tidak dapat disalahkan dengan fatwa yang dikelauarkannya
walaupun tanpa koordinasi dengan Depkes. B. Dengan memperhatikan ketentuan
sanksi dalam Undang-undang di atas, dapat disimpulkan bahwa: sanksi yang akan
diberikan kepada PT ajinomot Indonesia bisa dikategorikan kedalam sanksi pidana
(penjara atau denda) dan sanksi administratif. Berbicara mengenai sanksi administratif
yaitu sanksi tentang pencabutan SIUP. Ada dua hal yang perlu diperhatikan
tentang SIUP mengingat PT Ajinomoto adalah merupakan Perusahaan Asing (PMA)
yaitu: 1. perusahaan tersebut minta usahanya dicabut. 2. pencabutan dilakukan
lantaran perusahaan bersangkutan terbukti melanggar peraturan
perundang-undangan yang berlaku. C. Jika diperhatikan penjelasan di atas,
apakah PT Ajinomoto Indonesia telah melanggar peraturan perundang-undangan?
Dalam ketentuan hukum pidana, kita menganut asas "praduga tak bersalah"
(bahwa seseorang atau badan hukum walaupun dalam keadaan senyatanya sudah
melakukan tindak pidana, namun dalam hukum tetap dianggap tidak bersalah
sebelum ada keputusan hakim yang tetap menyatakan bahwa seseorang/badan hukum
tersebut bersalah), harus dijunjung tinggi. Oleh karena itu penilaian bersalah
atau tidaknya PT Ajinomoto tergantung pada keputusan lembaga yang berwenang,
sementara lembaga lain hanya dapat memberikan teguran atau peringatan baik
lisan maupun tulisan, atau sanksi administratif sementara. D. Sebaiknya pihak
Pemerintah selaku lembaga yang paling berwenang dalam masalah ini, harus
mengeluarkan suatu aturan yang jelas tentang, prosedur pemeriksaan dan wewenang
pencantuman label halal ini. Agar tidak terjadi saling menyalahkan antara masing-masing
lembaga yang merasa berwenang. Untuk itu pemerintah perlu mengeluarkan baru
atau merevisi peraturan lama, tentang Sertifikasi Halal tersebut.
Sumber :
http://117.102.106.99:2121/pls/PORTAL30/indoreg.irp_casestudy.viewcasestudy?casestudy=2